Jakarta – Kasus tragis yang menimpa Sindi Purnama Sari kemungkinan besar terjadi akibat kombinasi dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), isolasi sosial, pengabaian ekstrem, dan kontrol berlebihan oleh suaminya.
Menurut Dr. Andi Sidomulyo, Direktur Pusat Rehabilitasi Quranic Healing Indonesia, kasus ini mencerminkan adanya gangguan psikologis pada pelaku, yang dapat berupa kecemburuan obsesif, gangguan narsistik, atau bahkan kecenderungan psikopat. “Perilaku Wahyu menunjukkan tanda-tanda kontrol ekstrem yang sering kali berakar pada trauma masa lalu atau pola pikir yang keliru tentang kepemilikan atas pasangan. Kondisi seperti ini bisa diperparah dengan minimnya pemahaman tentang empati dan kasih sayang dalam hubungan rumah tangga,” jelasnya.
DR.Andi Sidomulyo Direktur Pusat Rehabilitasi Qhi
Lebih lanjut, Dr. Andi menegaskan bahwa kasus ini menjadi peringatan serius tentang pentingnya edukasi mental dan emosional dalam pernikahan. “Pendekatan rehabilitasi berbasis nilai-nilai spiritual dan psikologi sangat diperlukan agar individu yang memiliki kecenderungan seperti ini bisa mendapatkan pemahaman yang lebih sehat tentang hubungan dan pengelolaan emosi,” tambahnya.
Faktor Psikologis yang Berperan dalam Kasus Ini
Sejumlah faktor psikologis yang dapat menjelaskan perilaku Wahyu dalam kasus ini meliputi:
1. Gangguan Kepribadian Posesif dan Cemburu Berlebihan
Pelaku tampaknya memiliki rasa cemburu yang tidak rasional, yang menyebabkan dia melarang Sindi untuk bergaul dengan keluarga maupun tetangganya. Dalam beberapa kasus, kecemburuan berlebihan ini bisa disebabkan oleh:
• Gangguan Kepribadian Paranoid, di mana seseorang selalu curiga dan merasa tidak aman dalam hubungan mereka.
• Obsessive Love Disorder (OLD), yaitu kondisi di mana seseorang menjadi sangat terobsesi dengan pasangan hingga ingin mengendalikan setiap aspek kehidupannya.
Dr. Andi menambahkan, “Ketika seseorang merasa sangat takut kehilangan pasangan hingga melakukan tindakan ekstrem seperti isolasi sosial, itu bukan lagi cinta, melainkan bentuk pengendalian yang berbahaya. Pola ini perlu ditangani dengan terapi psikologis dan pendekatan spiritual agar individu dapat membangun hubungan yang lebih sehat.”
2. Gangguan Narcissistic Personality Disorder (NPD)
Beberapa pelaku KDRT menunjukkan tanda-tanda gangguan kepribadian narsistik, yang ditandai dengan:
• Rasa superioritas—merasa lebih berkuasa atas pasangan dan menganggapnya sebagai milik pribadi.
• Kurangnya empati—tidak peduli dengan penderitaan pasangan, seperti dalam kasus ini di mana Wahyu tega mengabaikan kondisi istrinya.
• Menggunakan hukuman untuk mengontrol pasangan, seperti mengurung dan membiarkan Sindi kelaparan.
“Individu dengan gangguan narsistik sering kali melihat pasangannya sebagai objek, bukan sebagai manusia yang memiliki hak dan perasaan. Mereka cenderung mencari kepuasan dari mengendalikan dan mendominasi, sehingga tanpa terapi dan intervensi yang tepat, siklus kekerasan ini akan terus berulang,” kata Dr. Andi.
3. Gangguan Psikopat atau Sosiopat
Jika Wahyu memiliki gangguan psikopat atau sosiopat, dia mungkin memiliki ciri-ciri seperti:
• Kurangnya rasa bersalah atau penyesalan, sehingga tega meninggalkan istrinya dalam kondisi mengenaskan.
• Kemampuan untuk menipu dan memanipulasi, mungkin dengan berpura-pura menjadi suami yang baik di depan orang lain.
• Perilaku impulsif dan tidak bertanggung jawab, seperti melarikan diri setelah kejahatannya terungkap.
Dr. Andi menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus, individu dengan kecenderungan psikopat dapat menutupi sifat aslinya di depan umum, tetapi menunjukkan kekejaman di balik pintu tertutup.
4. Trauma atau Latar Belakang Kekerasan
Beberapa pelaku KDRT berasal dari keluarga yang penuh kekerasan, di mana mereka mungkin pernah mengalami atau menyaksikan penganiayaan di rumah. Ini bisa membuat mereka menganggap kekerasan sebagai hal yang normal dan memperlakukannya sebagai bagian dari hubungan suami-istri.
“Siklus kekerasan dalam keluarga sering kali berulang dari generasi ke generasi. Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang penuh kekerasan tanpa intervensi, mereka cenderung meniru pola yang sama dalam hubungan mereka sendiri,” ujar Dr. Andi.
Pentingnya Pencegahan dan Rehabilitasi
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah psikologis dan sosial yang memerlukan pendekatan multidisiplin.
Menurut Dr. Andi, upaya pencegahan harus dimulai dari edukasi sejak dini tentang hubungan yang sehat, pengelolaan emosi, dan pentingnya komunikasi dalam rumah tangga. Selain itu, rehabilitasi bagi pelaku kekerasan juga harus dilakukan agar mereka dapat memahami kesalahan mereka dan mencegah tindakan serupa di masa depan.
“Pendekatan berbasis spiritual dan psikologi, seperti Quranic Healing, dapat menjadi solusi untuk membantu individu mengatasi trauma, mengubah pola pikir yang salah, dan memperbaiki hubungan dalam keluarga,” pungkasnya.
Sementara itu, para ahli menegaskan bahwa Wahyu harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan evaluasi psikologis terhadap dirinya perlu dilakukan untuk memastikan latar belakang perilakunya. Namun, apapun penyebabnya, tidak ada alasan yang bisa membenarkan kekejaman seperti ini.